5 CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS
UAS “ ETIKA BISNIS “
5 kasus pelanggaran etika bisnis selama tahun 2021 di Indonesia.
1. Tokopedia
Di penghujung tahun 2020 lalu, nama
Tokopedia begitu banyak disebut. Bukan lantaran promo dan berbagai fitur
terbarunya, melainkan karena kasus kebocoran data para pengguna. Berita ini tentunya
begitu mengejutkan, apalagi Tokopedia sudah masuk dalam jajaran perusahaan
startup unicorn. Memang kebocoran data ini bukanlah pertama kalinya terjadi di
Indonesia.
Dalam kasusnya, diketahui ada 91 juta
data pengguna dan 7 juta data penjual yang bocor. Bahkan semua data ini dijual
di arak web dengan harga sekitar $5000. Dengan bocornya data tersebut, pihak
Tokopedia meminta penggunanya untuk mengganti password. Jika dilihat dari etika
bisnis, kasus ini terbilang rumit. Maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya
Tokopedia memiliki pendanaan yang cukup besar untuk menjalankan operasionalnya
dan seharusnya mereka juga mengalokasikan pendanaan yang cukup untuk sekuritas
ataupun keamanan bagi pengguna, karena seiring penambahan jumlah pengguna maka
maintenance dan sistem pengamanan yang dimiliki harus semakin baik.
Namun faktanya, justru terjadi
kebocoran data pengguna yang berarti sistem pengamanan data yang ada tidaklah
cukup baik, oleh sebab itu kemudian munculah asumsi bahwa tokopedia meremehkan
keamanan pengguna demi mendapatkan pengguna baru lewat marketing mendunia
mereka. Disinilah pelanggaran etika bisnis mereka, Tokopedia lebih fokus untuk
mendapatkan keuntungan dengan tidak memikirkan pertimbangan moral etis pada
kebijakan bisnis mereka.
Selain itu kebocoran data yang
dialami pengguna tokopedia ini merupakan salah satu akibat dari pelanggaran
etika bisnis yang dilakukan oleh tokopedia. Hal ini dapat menjadi sebuah
pelanggaran sebab berdasarkan dasar etika bisnis, etika bisnis dibutuhkan untuk
membuat bisnis yang dijalankan lebih sustainable dengan dasar moral untuk
menumbuhkan customer trust yang mana akan berefek pada loyalitas pengguna.
Ketika terjadi kebocoran data Tokopedia mungkin tidak lagi dipercaya oleh
customer dan akibat terburuk yang dapat dirasakan Tokopedia adalah bisnis
mereka dapat kehilangan kepercayaan pengguna.
Selain itu, jika dilihat dalam
prinsip etika bisnis yang semestinya, kebocoran data atas kelalaian Tokopedia
tentu melanggar prinsip otonomi, integritas dan menjaga reputasi. Dalam prinsip
otonomi seharusnya Tokopedia dapat mengambil keputusan yang lebih baik dimana
tidak hanya mementingkan keuntungan dan marketing untuk menambah jumlah
pengguna namun lebih jauh lagi harus bertanggung jawab terhadap kualitas pelayan
seiring dengan bertambahnya pengguna. Selanjutnya, berkenaan dengan prinsip
integritas dan menjaga reputasi Tokopedia sebagai badan bisnis yang besar dapat
menghindarkan diri dari hal-hal yang merugikan perusahaannya dan konsumennya.
Pelanggaran sebuah norma moral dalam
masyarakat berkaitan dengan seberapa jelas aturan dan regulasi yang ada baik
secara tertulis maupun tidak tertulis. Salah satu regulasi yang diterima secara
umum dan menjadi salah satu hukum bisnis adalah perundang-undangan. Sementara
itu, di peraturan perundang-undangan tidak ada aturan yang secara khusus
mengatur dan membahas tentang kebocoran data pengguna internet oleh suatu
pelaku bisnis.
Sikap pemerintah dalam menanggapi
kasus kebocoran data tidak begitu tegas. Indonesia sebenarnya sudah memiliki
peraturan mengenai hal ini berbentuk Peraturan Menteri (Permen) No 20 Tahun
2016 tentang perlindungan data pribadi, namun untuk kebocoran data berskala
besar belum diberikan sanksi tegas untuk e-commerce yang tidak apik dalam
menjaga data pengguna. Dalam UU ITE tidak disebutkan dengan jelas sanksi yang
diberikan untuk e-commerce yang lalai dalam menjaga kerahasiaan data pengguna.
Dengan ketidakjelasan regulasi dari pemerintah ini yang mengakibatkan
e-commerce lainnya mungkin saja melakukan tindakan serupa dengan yang Tokopedia
lakukan selain itu ketidakjelasan regulasi dari pemerintah menyamarkan pelanggaran
etika bisnis yang dilakukan oleh Tokopedia.
Oleh sebab itu, semua pihak perlu
melakukan perannya dengan semaksimal mungkin agar segala kegiatan bisnis yang
diupayakan dalam perekonomian tidak merugikan masyarakat sebagai konsumen.
Pemerintah perlu menerapkan regulasi yang jelas terkait kegiatan elektronik
dengan implementasi yang efektif, pelaku bisnis juga harus memiliki tanggung
jawab moral untuk melindungi segala informasi pribadi konsumennya. Masyarakat
perlu lebih waspada terhadap kemungkinan cybercrime yang ada sehingga dalam
melakukan kegiatan digital haruslah lebih berhati-hati.
2.
Pelanggaran Etika Bisnis Pada PT. PLN KASUS PT.
Perusahaan Listrik Negara (Persero)
adalah perusahaan
pemerintah yang bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini,
PT. PLN masih merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus
pendistribusinya. Dalam hal ini PT. PLN sudah seharusnya dapat memenuhi
kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan mendistribusikannya secara merata. Usaha
PT. PLN termasuk kedalam jenis monopoli murni. Hal ini ditunjukkan karena PT.
PLN merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang unik dan tanpa barang
pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan harga berapapun yang
mereka kehendaki. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga.
Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya
ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan
ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik
Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang
bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan
terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara”
dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam
bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan
pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas
masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Contoh kasus monopoli yang
dilakukan oleh PT. PLN adalah: 1 Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi,
dan transmisi listrik mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam
upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi
tetap ditangani PT. PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di
Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi,
Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath
Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi
dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan
oleh PT. PLN sendiri. 2 Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik
Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai
wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal
ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan
Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi
bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN
berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah
karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan
Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta
Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk
pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara
Karang. Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik
masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu
secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum
terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana
contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi
masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
ANALISIS
Jika dilihat dari
teori etika deontologi : Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan
atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik
secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika deontologi tidak etis dalam
kegiatan usahanya. Jika dilihat dari teori etika teleologi : Dalam kasus ini,
monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh Pasal 33
UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada
negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau dari teori etika teleologi.
Jika ditinjau dari teori utilitarianisme : Tindakan PT. PLN bila ditinjau dari
teori etika utilitarianisme dinilai tidak etis, karena mereka melakukan
monopoli. Sehingga kebutuhan masyarakat akan listrik sangat bergantung pada PT.
PLN. Dari wacana diatas dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada
masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
3.
Keterlambatan Maskapai Penerbangan Wings Air Di
Surabaya.
seorang advokat
menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena
penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat
bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani
perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings
Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan
puluh menit. Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari
Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah
dibeli.Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung
berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat
pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal. DAVID menuding
Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan
keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di
bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke
pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan
klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan,
hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. ANALISA Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu
tindak pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang
dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai
salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas. Bahwa yang dimaksud
dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah
adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu
corak-corak ekonomi.Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan
yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat. Dalam Hukum Pidana Ekonomi,
delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak
pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam
arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah
tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang
7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas
adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta
undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi. Dalam kasus
yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air
dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan
tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga
terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti
luas. Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan
tentang UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai jawaban atas
pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor
penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak
seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam
aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku
usaha. Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen
dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang
selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.
Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat
bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan
komprehensif dapat dilindungi. Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat
(1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti
yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi
ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk
menjual kembali atau reseller consumer. Asas yang terkandung dalam UU
Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas
Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat
dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan
Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Perlindungan
konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan
untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hakhaknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab
dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan dan keselamatan konsumen. Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana
dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal
61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat
penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian
melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum
Perdata. Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan
yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan
Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen
dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda
paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip
Ultimum Remedium. Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula
yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari
satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18
UUPK yakni: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha; (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi
hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undangundang ini. Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1)
UUPK disebutkan bahwa tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk
menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak. Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan
konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat
perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam kasus disebutkan bahwa,
pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak
bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan
dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang
penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya,
hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang
termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings
Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari
pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat
merugikan kepentingan konsumen.Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan
tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia
jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan
pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan. Saran Agar tidak
terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita sebagai
konsumen harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang
ditawarkan dan adapun pasal-pasal bagi konsumen, seperti: • Kritis terhadap
iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk; • Teliti sebelum membeli; •
Biasakan belanja sesuai rencana; • Memilih barang yang bermutu dan berstandar
yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan; • Membeli
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan; • Perhatikan label, keterangan barang
dan masa kadaluarsa; Pasal 4, hak konsumen adalah : a. Ayat 1 : “hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
b. Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini
terbukti Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak
jelas asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample.Pada
tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus,
tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa
BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk
makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet,
pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan
methanil yellow). c. Ayat 3 : “hak atas informasi.
4.
Contoh Kasus Pelanggaran Etika Bisnis oleh PT.Megasari
Makmur
Perjalanan obat nyamuk bermula pada tahun 1996, diproduksi oleh PT Megasari Makmur yang terletak di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. PT Megasari Makmur juga memproduksi banyak produk seperti tisu basah, dan berbagai jenis pengharum ruangan. Obat nyamuk HIT juga mengenalkan dirinya sebagai obat nyamuk yang murah dan lebih tangguh untuk kelasnya. Selain di Indonesia HIT juga mengekspor produknya ke luar Indonesia. Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang
promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya
karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan
Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat
anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot)
dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan
melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada
tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang
mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang
baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
ANALISIS :
Dalam perusahaan
modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada
sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas
tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan
atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi,
siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan
tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa
yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya
pendapat para kritikus pada pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika
sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama,
tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan
konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan
kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Kaum tradisional membantah
bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan,
fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan
perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam
tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan
perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian,
karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan
bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan
atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur
birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas
setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris,
juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor
ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan
birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral
orang itu. Kita mengetahui bahwa Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan
mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar
moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu
diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern
untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada
orang-orang yang ada di dalam organisasi. Dari kasus diatas terlihat bahwa
perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
perusahaan besarpun berani untuk mmengambil tindakan kecurangan untuk menekan
biaya produksi produk. Mereka hanya untuk mendapatkan laba yang besar dan
ongkos produksi yang minimal. Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan
membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya . dalam kasus HIT sengaja
menambahkan zat diklorvos untuk membunuh serangga padahal bila dilihat dari
segi kesehatan manusia, zat tersebut bila dihisap oleh saluran pernafasan dapat
menimbulkan kanker hati dan lambung. Dan walaupun perusahaan sudah meminta maaf
dan juga mengganti barang dengan memproduksi barang baru yang tidak mengandung
zat berbahaya tapi seharusnya perusahaan jugamemikirkan efek buruk apa saja
yang akan konsumen rasakan bila dalam penggunaan jangka panjang. Sebagai
produsen memberikan kualitas produk yang baik dan aman bagi kesehatan konsumen
selain memberikan harga yang murah yang dapat bersaing dengan produk sejenis
lainnya.
Penyelesaian
Masalah yang dilakukan PT.Megasari Makmur dan Tindakan Pemerintah Pihak
produsen (PT. Megasari Makmur) menyanggupi untuk menarik semua produk HIT yang
telah dipasarkan dan mengajukan izin baru untuk memproduksi produk HIT Aerosol
Baru dengan formula yang telah disempurnakan, bebas dari bahan kimia berbahaya.
HIT Aerosol Baru telah lolos uji dan mendapatkan izin dari Pemerintah. Pada
tanggal 08 September 2006 Departemen Pertanian dengan menyatakan produk HIT
Aerosol Baru dapat diproduksi dan digunakan untuk rumah tangga (N0. RI.
2543/9-2006/S).Sementara itu pada tanggal 22 September 2006 Departemen
Kesehatan juga mengeluarkan izin yang menyetujui pendistribusiannya dan
penjualannya di seluruh Indonesia.
Undang-undang
Jika dilihat
menurut UUD, PT Megarsari Makmur sudah melanggar beberapa pasal, yaitu :
Pasal 4, hak
konsumen adalah :
Ayat 1 : “hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
Ayat 3 : “hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa”.
PT Megarsari tidak
pernah memberi peringatan kepada konsumennya tentang adanya zat-zat berbahaya
di dalam produk mereka.Akibatnya, kesehatan konsumen dibahayakan dengan alasan
mengurangi biaya produksi HIT.
Pasal 7, kewajiban
pelaku usaha adalah :
Ayat 2 :
“memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan”
PT Megarsari tidak
pernah memberi indikasi penggunaan pada produk mereka, dimana seharusnya
apabila sebuah kamar disemprot dengan pestisida, harus dibiarkan selama
setengah jam sebelum boleh dimasuki lagi.
Pasal 8
Ayat 1 : “Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan”
Ayat 4 : “Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran”
PT Megarsari tetap
meluncurkan produk mereka walaupun produk HIT tersebut tidak memenuhi standar
dan ketentuan yang berlaku bagi barang tersebut.Seharusnya, produk HIT tersebut
sudah ditarik dari peredaran agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
tetapi mereka tetap menjualnya walaupun sudah ada korban dari produknya.
Pasal 19 :
Ayat 1 : “Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan”
Ayat 2 : “Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Ayat 3 :
“Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi”
Menurut pasal
tersebut, PT Megarsari harus memberikan ganti rugi kepada konsumen karena telah
merugikan para konsumen.
Tanggapan :
PT. Megarsari
Makmur sudah melakukan perbuatan yang sangat merugikan dengan memasukkan 2 zat
berbahaya pada produk mereka yang berdampak buruk pada konsumen yang
menggunakan produk mereka. Salah satu sumber mengatakan bahwa meskipun
perusahaan sudah melakukan permintaan maaf dan berjanji menarik produknya,
namun permintaan maaf itu hanyalah sebuah klise dan penarikan produk tersebut
seperti tidak di lakukan secara sungguh –sungguh karena produk tersebut masih
ada dipasaran.
Pelanggaran
Prinsip Etika Bisnis yang dilakukan oleh PT. Megarsari Makmur yaitu Prinsip
Kejujuran dimana perusahaan tidak memberikan peringatan kepada konsumennya
mengenai kandungan yang ada pada produk mereka yang sangat berbahaya untuk
kesehatan dan perusahaan juga tidak memberi tahu penggunaan dari produk
tersebut yaitu setelah suatu ruangan disemprot oleh produk itu semestinya
ditunggu 30 menit terlebih dahulu baru kemudian dapat dimasuki /digunakan
ruangan tersebut. Melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan pada dasarnya
boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak mana pun dan tentu saja pada
jalurnya. Disini perusahaan seharusnya lebih mementingkan keselamatan konsumen
yang menggunakan produknya karena dengan meletakkan keselamatan konsumen diatas
kepentingan perusahaan maka perusahaan itu sendiri akan mendapatkan keuntungan
yang lebih besar karena kepercayaan / loyalitas konsumen terhadap produk itu
sendiri.
5. Contoh pelanggaran oleh perusahaan Aqua group Profil Perusahaan Aqua Group atau Aqua Golden Massisipi yang bernaung di bawah PT. Tirta Investama,
didirikan pada 23
Februari 1973 oleh Tirto Utomo atau Kwa Sien Biauw (1930-1994), warga asli
Wonosobo, orang Indonesia yang mulai mengubah salah satu kebiasaannya secara
mendasar dengan membiasakan diri mengkonsumsi AMDK, tentunya dengan membeli
air. Sedangkan Danone, merupakan sebuah korporasi multinasional asal Perancis,
yang berambisi untuk memimpin pasar global lewat tiga bisnis intinya, yaitu :
dairy products, AMDK dan biskuit. Pada tanggal 4 september 1998, Aqua secara
resmi mengumumkan "penyatuan" kedua perusahaan tersebut dan
bertepatan dengan pergantiaan milenium, oada tahun 2000 Aqua meluncurkan produk
berlabel Danone-Aqua. Pelanggaran Etika Bisnis PT. Danone Dalam kasus ini,
danone-aqua telah melakukan pelanggran serta pengabaian kode etik dalam hal
penggunaan sumber daya alam. Sebenarnya, keprihatinan dunia akan eksploitasi
sumberdaya alam sudah dapat dirasakan semenjak diselenggarakannya United
Nations Conference on Environment and Development atau Earth Summit di Rio de
Janeiro pada tahun 1992 yang membahas mengenai perubahan iklim. Dalam
mengimplementasikan atau mengaplikasikan etika dalam rekayasa terutama dalam
penciptaan produk baru, maka hal-hal yang harus diketahui adalah: • Sebaik apa
produk yang dihasilkan tersebut.
• Pengaruh atau
fungsi produk tersebut kepada konsumen
•
Perubahan-perubahan yang akan ditimbulkan kepada konsumen.
• Sebaik apa
kegunaan produk tersebut dalam berbagai kondisi yang dihadapi.
• Produk tersebut
aman atau tidak bagi konsumen
• Dampak buruk
dari produk jika mengabaikan peringatan-peringatan yang ada. Dari hal-hal
tersebut di atas, etika sangat berperan penting dalam penciptaan suatu produk
untuk menentukan manfaat atau keuntungan yang dapat dinikmati oleh konsumen,
serta dapat menentukan dampak-dampak buruk dari produk tersebut jika
mengabaikan peringatan-peringatan yang ada. Produk yang dihasilkan oleh AMDK
Aqua sebagian telah memenuhi dari ketentuan diatas. AMDK Aqua mampu menghasilkan
air bersih untuk keperluan air minum untuk banyak orang, selain itu AMDK Aqua
menjamin tingkat keamanan untuk menggunkan produknya. Selain praktis produk
Aqua bisa memperbaiki kehidupan masyarakat untuk hidup lebih sehat dengan
mengkonsumsi air bersih. Tapi yang jadi permasalahan adalah, datang dari
manakah air bersih yang dijual oleh Aqua sehingga sekarang manusia perlu
membayar hanya untuk mendapatkan air bersih? Salah satu dari sekian banyak
sumber mata air yang dieksploitasi habis-habisan oleh Aqua adalah sumber mata
air di Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang dimana di daerah
tersebut masyarakatnya menopangkan kehidupannya dari sektor pertanian. Karena
debit air menurun sangat drastis sejak Aqua beroperasi di sana, sekarang para
petani terpaksa harus menyewa pompa untuk memenuhi kebutuhan irigasi sawahnya.
Untuk kebutuhan sehari-hari, penduduk harus membeli air dari tangki air dengan
harga mahal karena sumur-sumur mereka sudah mulai kering akibat “pompanisasi”
besar-besaran yang dilakukan oleh Aqua. Hal ini sangat ironis mengingat
Kabupaten Klaten merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya air. Di satu
Kabupaten ini saja sudah terdapat 150-an mata air.Untuk kasus kali ini Aqua
dalam produksinya kurang berpikir etis dan telah melanggar tanggung jawab
sosial perusahaan, sumber daya alam memang bisa dinikmati siapapun, tetapi
dalam mengekploitasinya tidak boleh berlebihan atau dengan kata lain serakah.
Apalagi disini yang jadi permasalahannya ialah air, air merupakan sumber daya
yang dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak. Memang aqua mempunyai tujuan
yang baik yaitu menyediakan air besih untuk keperluan minum banyak orang.
Tetapi yang jadi permasalahan ialah kenapa aqua seenaknya mengeksploitasi air
secara besar-besaran tanpa mempedulikan efek sampingnya. Aqua terkesan tidak
bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan perusahaan sendiri.
Masyarakat menjadi bersaing dengan pihak aqua untuk mendapatkan air. Dari
kasus, ini aqua tidak berpikir secara etis dalam hal deonteologis.
Eksploitasi
sumberdaya alam yang mengabaikan lingkungan akan mengancam keberlanjutan dan
ketersediaan sumber daya alam itu. Dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 menggariskan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat". Salah satu asas penting dalam pemanfaatan kekayaan
alam dalam pembangunan Indonesia adalah pengutamaan pengelolaan sumber daya
alam yang dapa diperbarui. Konsep hak dalam menguasai negara (HMN) menjadi
instrumen dasar dalam eksploitasi SDA di Indonesia, secsra historis melalui
konsep ini pemerintah telah mengingkari semangat demokrasi ekonomi dan
pencapaian kesejahteraan rakyat, hal ini terjadi karena paradigjma pertumbuhan
yang di usung memberikan ruang yang berlebihan pada praktek destruktif dan
eksploitatif bagi SDA lewat praktek penyerahan wewenang pada
perusahaan-perusahaan asing secara besar.
Beberapa kebijakan
yang mendukung praktek "sesat" ini diantaranya melalui pemberlakuan
scema per undang - undangan nasional, seperti UU No. 5 tahun 1860 tentang
pokok-pokok agraria, UU No.20 tahun 1861 tentang pencabutan hak atas tanah, UU
No. 5 tahun 1967 tentang pokok-pokok kehutanan (dan penggantinya UU 41/ perpu
No. 1 tahun 2004 tentang perubahan UU No. 41 tahun 1999) dan UU No. 11 tahun
1967 tentang pokok - pokok pertambangan, didukung oleh UU No. 9 tahun 1967
tentang penanaman modal asing, kemudian pada tanggal 3 Juli 1968, di keluarkan
UU No. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negri. Kebihakan otonomi
daerah yang didasarkan UU No. 32 tahun 2004 sebagai penyempurnaan dari UU 22
tahun 1999, tentang pemerintahan daerah, serta adanya UU 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dimaknai sebagai desentralisasi kekuasaan,
telah mendorong daerah-daerah untuk melirik dan mengandalkan SDA sebagai sumber
PAD sehingga maraklah beragam PERDA dan kebijakan pemberian izin oleh kepala
daerah kepada beragam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi oleh investor, dan
ini menjadi ancaman yang nyata bagi ketersediaan daya dukung SDA kita. Oleh
karena itu, agar pemanfaatannya dapay berkesinambungan, maka tindakan
eksploitasi sumber daya alam harus disertai dengan tindakan perlindungan.
Pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang
rasional antara lain sebagai berikut :
1. Memanfaatkan
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dengan hati-hati dan efisien, misalnya:
air, tanah, dan udara.
2. Menggunakan
bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran) 3. Mengembangkan metoda
menambang dan memproses yang efisien,serta pendaur ulangan (recycling).
4. Melaksanakan
etika lingkungan berdasarkan falsafah hidup secara damai dengan alam.
KESIMPULAN Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan PT. Danone
telah melakukan usahanya ada yang baik tidak melanggar etika maupun moral
dengan cara melakukan kegiatan CSR, dan ada yang melakukan pelanggaran etika
dalam berbisnis yaitu terkait eksploitasi sumber mata air yang ada di
Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah tersebut yang telah melanggar kode
etik dan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan khususnya pada pengelolaan
SDA yang dipergunakan oleh Danone-Aqua.
#narotamajaya
#suksesituaku
#febisnismudanarotama
#generasiemas
#thinksmart
#bangganarotama
Komentar
Posting Komentar